Oleh: Achsanul Anam Al-Maraji*
Hidup tak luput dari sebuah aturan, karena hidup dan segala mutaallaqnya di ciptakan oleh Si maha pengatur dengan serba teratur. Tidak mungkin hidup ini bisa berjalan tanpa adanya aturan (qonun-qonun), baik aturan yang bersifat tertulis, seperti haududus syari’ah, UU pemerintah, peraturan institusi non pemerintah, peraturan pesantren, kesepakatan masyarakat atau bersifat tidak tertulis seperti adat-isitadat.
Gholibnya sebuah aturan itu muncul, karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan para oknum yaitu manusia (santri), atau untuk dijadikan sebagai standar ideal yang dipakai sebagai pijakan dalam beraktifitas. Penyimpangan terhadap sebuah aturan yang dilakukan oleh manusia (santri).
Bentuk-bentuk penyimpangan (mukholafah) itu sendiri bermacam-macam bentuknya. Diantaranya; penyimpangan dari aturan secara mutlak (baik tertulis atau tidak/aturan dogmatis agama atau konstitusi bersama), penyimpangan dari adat atau menyimpang dari hal-hal yang bersifat lebih afdhol (khilaful aula) dan lain-lain. Berbagai bentuk penyimpangan tersebut memerlukan pembenahan-pembenahan yang serius, sehingga tidak berlarut-larut tanpa terpecahkan masalahnya. Pembenahan dan penataan kembali semacam ini sifatnya harus segera dilakukan oleh semua pihak yang terkait. Sebagaimana maqalah Ibnu Malik yang berbunyi:
وكل حرف مستحق للبنا * والاصل فى المبنى أن يسكنا
“setiap penyimpangan itu harus (berhak) dibangun kembali dan di benahi, dan (respon) asal terhadap sebuah pembenahan itu (kebanyakan) dengan sukun (diam tanpa sebuah argumentasi)”.
Kemudian pembenahan terhadap penyelewengan itu pasti menimbulkan berbagai gejolak dan konflik serta berbagai respon yang beragam, baik yang bersifat pro, kontra atau tanpa argumen (golput). Ha ini memang sudah menjadi konsekwensi lazim yang diterima dari sebuah pembenahan. Respon berbeda tersebut disebabkan oleh corak manusia yang berbeda, baik dari segi wawasan, pemikiran, karakter, kepentingan dan lain sebagainya.
Dalam mengklasifikasikan perbedaan golongan yang menyikapi gerakan pembaharuan dan pembenahan dapat dibagi menjadi 4 macam; a) golongan pengkritik dan klarifikasi, b) golongan kontroversial dan berbeda, c) bersatu/sepakat, dan d) golongan yang diam tanpa argumentasi.
Akhirnya penulis menghimbau dan mengajak …!, marilah kita bersama mengadakan pembenahan dari segala bentuk penyelewengan dan penyimpangan, baik penyimpangan dari jalur-jalur syari’at, peraturan pesantren, peraturan hukum ijtima’iyah (pemerintah/masyarakat/santri), adiah yang tidak mukholifu syar’I atau menyimpang dari sesuatu yang bersifat lebih utama, sehingga kita tetap berpedoman kepada maqolah salaf:
المحا فظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح
“Menjaga tradisi lama yang baik dan melakukan pembenahan dengan mengambil dan mengadopsi konsep-konsep baru yang lebih baik”
Kemudian respon yang berupa kritik, kontroversial, sepakat, dan diam itu adalah sesuatu yang sudah biasa dan pasti terjadi, sehingga hal ini tidak perlu dijadikan penghalang untuk terus maju dan terus maju dalam melakukan pembenahan".
* Penulis adalah Pengamat Agama-agama dan Peneliti Pada Islam Local Institut (IsLit)
Read Full Story
Hidup tak luput dari sebuah aturan, karena hidup dan segala mutaallaqnya di ciptakan oleh Si maha pengatur dengan serba teratur. Tidak mungkin hidup ini bisa berjalan tanpa adanya aturan (qonun-qonun), baik aturan yang bersifat tertulis, seperti haududus syari’ah, UU pemerintah, peraturan institusi non pemerintah, peraturan pesantren, kesepakatan masyarakat atau bersifat tidak tertulis seperti adat-isitadat.
Gholibnya sebuah aturan itu muncul, karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan para oknum yaitu manusia (santri), atau untuk dijadikan sebagai standar ideal yang dipakai sebagai pijakan dalam beraktifitas. Penyimpangan terhadap sebuah aturan yang dilakukan oleh manusia (santri).
Bentuk-bentuk penyimpangan (mukholafah) itu sendiri bermacam-macam bentuknya. Diantaranya; penyimpangan dari aturan secara mutlak (baik tertulis atau tidak/aturan dogmatis agama atau konstitusi bersama), penyimpangan dari adat atau menyimpang dari hal-hal yang bersifat lebih afdhol (khilaful aula) dan lain-lain. Berbagai bentuk penyimpangan tersebut memerlukan pembenahan-pembenahan yang serius, sehingga tidak berlarut-larut tanpa terpecahkan masalahnya. Pembenahan dan penataan kembali semacam ini sifatnya harus segera dilakukan oleh semua pihak yang terkait. Sebagaimana maqalah Ibnu Malik yang berbunyi:
وكل حرف مستحق للبنا * والاصل فى المبنى أن يسكنا
“setiap penyimpangan itu harus (berhak) dibangun kembali dan di benahi, dan (respon) asal terhadap sebuah pembenahan itu (kebanyakan) dengan sukun (diam tanpa sebuah argumentasi)”.
Kemudian pembenahan terhadap penyelewengan itu pasti menimbulkan berbagai gejolak dan konflik serta berbagai respon yang beragam, baik yang bersifat pro, kontra atau tanpa argumen (golput). Ha ini memang sudah menjadi konsekwensi lazim yang diterima dari sebuah pembenahan. Respon berbeda tersebut disebabkan oleh corak manusia yang berbeda, baik dari segi wawasan, pemikiran, karakter, kepentingan dan lain sebagainya.
Dalam mengklasifikasikan perbedaan golongan yang menyikapi gerakan pembaharuan dan pembenahan dapat dibagi menjadi 4 macam; a) golongan pengkritik dan klarifikasi, b) golongan kontroversial dan berbeda, c) bersatu/sepakat, dan d) golongan yang diam tanpa argumentasi.
Akhirnya penulis menghimbau dan mengajak …!, marilah kita bersama mengadakan pembenahan dari segala bentuk penyelewengan dan penyimpangan, baik penyimpangan dari jalur-jalur syari’at, peraturan pesantren, peraturan hukum ijtima’iyah (pemerintah/masyarakat/santri), adiah yang tidak mukholifu syar’I atau menyimpang dari sesuatu yang bersifat lebih utama, sehingga kita tetap berpedoman kepada maqolah salaf:
المحا فظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح
“Menjaga tradisi lama yang baik dan melakukan pembenahan dengan mengambil dan mengadopsi konsep-konsep baru yang lebih baik”
Kemudian respon yang berupa kritik, kontroversial, sepakat, dan diam itu adalah sesuatu yang sudah biasa dan pasti terjadi, sehingga hal ini tidak perlu dijadikan penghalang untuk terus maju dan terus maju dalam melakukan pembenahan".
* Penulis adalah Pengamat Agama-agama dan Peneliti Pada Islam Local Institut (IsLit)