Oleh: Muhammad Maqbul*
Banyak orang bilang malu adalah bentuk stres yang amat manyakitkan bagi pribadi dan dapat menghalangi keefektifan pribadikita. Rasa malu juga mencetuskan jenis stress yang menyebabkan rusaknya kepercayaan diri dan cara berfikir positif. Namun wacana tersebut tidak selamanya benar, karena bagi mereka yang mendefinisikan malu seperti itu menganggap bahwa sanya rasa malu cendrung kepada hal-hal yang negatif, padahal ketika kita menjelajahi terhadap permasalahan malu, kita dapat menemukan berbagai hgal positif yang dibuahi olehnya.
Dalam kacamata Islam, dikupas langsung tentang keutamaan sifat malu, seperti yang dikabarkan (HR. Bukhari-Muslim) malu itu tidak datang, melainkan membawa bahwa sesungguhnya setiap agama memiliki aturan moral, dan moral dalam Islam adalah malu (HR. Malik dan Ibnu dari Ibnu Abbas)
Islam juga mengajak manusia untuk yang menjadi terbaik, salah satu langkah yang paling efektif untuk menuju kearah tersebut adalah dengan memelihara rasa atau sifat malu. Sifat malu akan membuahkan prilaku terbaik bagi pemiliknya, karena sifat malu akan menahan seseorang dari perbuatan tercela.
Sedangkan kalau kita lihat dari Qoidah bahasanya, kata Al-Haya’ yang diterjemahkan dengan malu, menurut suatu pendapat berasal dari kata hayat yang artinya hidup namun sekilas kita amati antara hidup dan malu seolah-olah memang tidak berhubungan, akan tetapi dalam pandangan Islam keduanya saling memiliki keterkaitan. Sebab, hidup yang baik adalah dengan memelihara dan menjaganya sifat malu. Orang yang tidak memiliki sifat malu hakekatnya - meski masih berbafas dia dianggap tiada (mati).
Berkaca pada istilah diatas, kita sering bahwa sanya alat kelamin laki-laki dan perempuan makhluk hidup, khususnya manusia memakai istilah kemaluan, sebab orang yang tidak menjaga keduanya dengan tidak menutupi atau dimanfaatkan untuk berzina, maka sebenarnya orang tersebut sudah tidak memiliki sifat malu. Orang-orang yang demikian bukan saja tidak terhormat akan tetapi juga dianggap mati oleh masyarakat.
Dari sisi lain menurut pandangan Islam, sifat malu adalah sebagian dari iman dan bahkan antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal ini sebagaimana sudah ditegaskan dalam hadis rasul yakni malu dan iman merupakan dua hal yang tidak dapat dipidsahkan, jika yang satu tiada, maka yang lain tiada pula (HR. Hakim).
Karena melihat begitu pentingnya rasa malu dalam kehidupan ini, maka Fuda’il Ibn Iyad menjelaskan bahwa ada lima tanda orang yang akan celaka yaitu: keras hati, (egois dan sombong), pecicilan (himuddul aini), sedikit sifat malu, cinta dunia dan panjang angan-angan.
Ketika melihat dari beberapa aspek yang bersumber dari agama Islam, dapat kita tangkap bahwa sanya rasa malu hendaknya menjadi pagar pengaman dari nafsu binatang kita yang kadang liar dan sulit dikendalikan. Bagaimana rasa bersalah bisa muncul, hal ini tentunya didasarkan atas beberapa kemungkinan. Sebagaimana yang terdapat dalam ilmu social dan keIslaman, dalam proses mencari kebenaran kita bisa menyandarkan pada beberapa ukuran. Pertama, didasarkan atas sebuah kebenaran yang dipahami sendiri. Kedua, kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.
Jika kita analogikan hal tersebut, rasa malu bisa tercipta kerena atas dasar pemahaman diri sendiri tentang perasaan bersalah dan berdasarkan keyakinan suatu masyarakat dalam local budaya tertentu ini biasanya disebut dengan moral selain itu, pemahaman atas doktrin ketuhanan, bila seseorang tidak mempunyai rasa malu ia akan menjadi keras dan berjalan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Tanpa rasa peduli apakah yang harus menjadi korban yaitu mereka yang tidak berdosa, ia rampas harta dari tangan mereka, yang fakir tanpa ada belas kasihan, hatinya tidak tersentuh oleh kepedihandan rintihan orang-orang yang lemah, matanya menjadi gelap, pandangannya ganas. Ia tidak tahu kecuali apa yang memuaskan hawa nafsunya. Bila seseorang bertindak seperti ini, maka telah terkelupas dirinya fitrah agama dan terkikis habis jiwanya.
Mulai dari sekarang, saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijagadan dipelihara, baik oleh individu, terlibih lagi kalau ada perhatian khusus bangsa ini. Kita harus menyadari bahwasanya berbagai macam bencana, serta musibah yang dapat menerjang bangsa ini, salah satunya disebabkan oleh hilangnya rasa malu. Coba kita bayangkan seandainya seorang pejabat malu untuk korupsi, seorang pengusaha merasa malu jika terlambat upah pada karyawannya, artis malu mempertontonkan auratnya, kita malu mengumbar kata-kata kotor maka yang terjadi adalah pembentukan budaya malu akan memajukan bangsa ini.
Sebenarnya sebagian bangsa Indonesia secara sadar mengikrarkan bahwa malu merupakan bagian dari budaya bangsa. Berbagai pernyataan dan tulisan di media telah membahas hal tersebut. Namun kiranya kurang arif manakalah hanya karena ulah dari suatu pihak atau kelompok yang tidak tahu malu. Kemudian dikaitkan dengan budaya bangsa secara keseluruhan, factor budaya adalah asset bangsa mereka perlu kearifan dalam memahami masalah ini.
Oleh karena itu, kapan kita menunjukkan rasa malu bagi masing-masing individu adalah sangat relativ sangat tergantung pada pribadi, waktu dan tempat serta konteks permasalahan yang dihadapi oleh tiap individu. Untuk membangun budaya malu, fungsi agama dan lembaga pendidikan adalah sangat penting dan ikut menentukan apabila sampai pada keadaan bahwa orang sudah tidak punya malu, maka misi agama dan lembaga pendidikan dianggap gagal.
Pada saat ini dekadensi moral sedemikian luas, dan menghilangnya budaya malu serta berganti menjadi budaya malu-maluin seperti contoh adanya kebebasan seksual pada generasi muda saat ini, budaya malu harus direalisasikan, malu mempertontonkan aurat, malu mengambil yang bukan haknya, dan malu untuk melakukan segala sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri apalagi orang lain. Jadi kita harus mengarahkan orang lain untuk memiliki rasa malu kalau melakukan penyimpangan pada bidangnya. Budaya malu adalah benteng terakhir untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar moral, etika, norma agama dan hokum.
Dari beberapa uraian diatas, sudah jelas bahwasanya sifat malu yang benar adalah seperti malu karena bodoh atau jadi orang pandai tetapi tidak rendah hati, malu meninggalkan perintah dan malu karena melanggar larangan, seperti membuka aurat, korupsi dan lain-lain. Akan tetapi hal ini perlu diluruskan kembali bahwasanya apabila seseorang malu karena bodoh, maka kita harus imbangi dengan iktiar untuk mencapai titik kepintaran dengan cara belajar. Oleh karena itu Al-Kulaini membagi malu menjadi dua macam yaitu malu akal dan malu picik. Malu akal adalah ilmu sedangkan malu picik adalah bodoh, artinya orang yang berakal akan mengagungkan akalnya untuk tujuan selain mencari dan menyiarkan ilmu [].
*) Penulis Santri Pesantren Al- Husna, sedang menempuh studi di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “Tanamkan Rasa Malu Sebelum Dipermalukan”
Posting Komentar