“Jika Kita memiliki Pemimpin yang mengerti pentingnya keberagaman (Multikulturalisme), maka kita dengan sendirinya akan beruntung, tetapi jika kita mengutamakan keseragaman, maka mau tidak mau kita lalu menyimpang dari semboyan; Bhinneka Tunggal Ika” (Gus Dur).
Pernyataan Gus Dur, ada benar karena pada saat ini, bangsa Indonesia mengalami disintegrasi yang makin tajam dan kuat intensitasnya berupa sentimen kelompok berbau SARA, dan jika tidak ditangani secara serius, tidak menutup kemunkinan bangsa sebesar Indonesia, akan terjadi perpecahan dan perang antar saudara, akibat tidak memahami arti penting perbedaan antar elemen bangsa.
Tantangan Multikulturalisme di Indonesia, menurut Prof. Nur Syam ini, mengulas dinamika gerakan keagamaan yang menjadi batu sandungan Multikulturalisme dan Cita-cita paham Akhlusunnah Wal jama’ah. Pasca reformasi, ia melihat gerakan keagamaan yang cenderung radikal seperti momentum yang sangat kuat untuk berkembang. Gerakan keagamaan seperti ini ditandai dengan sekurang-kurangnya tiga hal, yaitu: kembali kepada Islam sebagaimana dilakukan oleh ulama sholeh, penerapan syariah dan khilafah Islamiyah, dan kecendrungan menolak produk Barat. Gerakan teo-demokrasi tentunya bukan isapan jempol. Gerakan ini berkembang, terutama dikalangan generasi muda, karena tawaran-tawaran problem solving yang dianggap relevan ditengah berbagai kehidupan yang semakin kompleks, padahal hanya kamuflase.
Nah, menurut pandangan orang-orang memahami multikulturalisme, perbedaaan kebudayaan adalah bagian dari ciri kehidupan bermasyarakat dan merupakan keniscayaan yang harus dihargai. Makanya, di dalam kerangka saling menghargai pemahaman itu diharuskan untuk saling tidak memaksakan pendapat, apalagi yang menyangkut kepentingan publik yang multikultural.
Lalu, Aswaja yang menjadi jalan tengah dan mampu mengakomodasi kesenjangan antar elemen masyarakat juga tidak luput dari tantangan serupa, baik gerakan ekslusif maupun gerakan inklusif. Tentu aswaja yang menjadi doktrin terbuka lebih dekat pada yang inklusif atau pribumisasi Islam. Yaitu corak yang Islam yang memiliki kedekatan bahkan akomodasi pada akomodasi budaya lokal.
Dan disatu sisi, dalam pemikiran dan praksis Islam juga muncul gerkan-gerakan Islam fundamendal yang tujuan untuk menjaga genuitas Islam. Secara transplanted muncul Ikhwanul al-Muslimin yang semula tumbuh dan berkembang di Mesir, Hizbut Tahrir yang tumbuh di Libanon dan gerakan-gerakan fundamental lain yang tumbuh dan berkembang di Indonesia seperti Front Pembela Islam ( FPI ), Lasykar Akhlus Sunnah Wal Jama’ah dan sebaginaya.
Meskipun memiliki perbedaan dalam cara pandang dan metodologi gerakan, tetapi ada kesamaan dalam visi dan misinya. Diantanya: mendirikan khilafah, mengikuti ulama salaf yang saleh, memusuhi barat sebagi setan dan memusuhi Islam liberal, hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi tercapainya Akhlusunah wal Jama’ah dan Multikuturalisme di Indonesia.
Dalam buku Pendidikan Multikultural choirul Mahfud , mengatakan bahwa menjadi penting dan sangat mendesak dinegara yang masyarakatnya semakin majemuk. Karena pertama penyelenggaraan pendidikan multikultural diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi dimasyarakat, khususnya yang kerap terjadi di Indonesia yang secara realitas prural. Dengan kata lain pendidikan multikultural dapat dijadikan sarana alternatif pemecahan konflik sosial, budaya dan gerakan keagamaan masyarakat yang cendrung puritan. Spektrum kultul masyarakat Indonesia yang amat beragam ini, menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi sesuatu aset, bukan sumber perpecahan.
Kedua upaya pembinaan terhadap siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya indonesia yang dimeliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan dengan realitas sosial-budaya diera globalisasi, pertemuan antar budaya menjadi ancaman serius bagi anak didik. Ketiga mengujudkan masyarakat yang multikutural, sebab dalam masyarakat Indonesia yang multikultural dengan bhinneka tunggal ika bukan hanya dimaksudkan keanekaragaman suku bangsa an sich, melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keragaman kebudayan tersebut selalu dijaga yang bisa tampak dalam sikap saling menghormati, menghargai, toleransi antar kebudayaan lainnya Dengan pendidikan multikultural tersebut dapat membuahkan hasil harmonisasi agama. Artinya, didalam harmoni itu terpancar “kesadaran bersama” untuk mengujudkan agama sesuai dengan fitrahnya masing-masing akan tetap toleransi dan tenggang rasa yang mendalam mengenai adanya perbedaan dan sekaligus kesamaan didalam agama-agama.
Kesalehan teologis adalah ciri khas masing-masing agama yang tidak bisa dikompromikan, namun kesolehan sosial adalah adalah ruang humanitas yang bisa ditoleransikan dan sekilgus dikerjasamakan. Dan Islam sendiripun, perbedaan budaya adalah bagian keniscayaan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan sekaligus mengakui dan menghargai perbedaan yang ditampakkan dengan wajah bangsa, etnis, tradisi, dan berbagai tindakan lokal yang bersifat diversifikatif.
Jadi, Pesanten di Indonesia yang seperti mozaik akan semakin kaya keberagaman budaya. Jika multikulturalisme dijadikan landasan menghormati dan menghargai terhadap segala bentuk keberagaman dan perbedaan, baik etnis, suku, ras, agama, maupun simbol-simbol perbedaan lainya menjadi penting untuk ditanamkan dalam dunia pendidikan. Sebab media pendidikan amat strategis untuk menyemai nilai-nilai multikultural dan diyakini mampu mencetak seseorang siapa saja, seperti profesor, koruptor, birokrat, pejabat maupun penjahat. Sehingga, dirasa kurang dan tidak menjadi manusia Indonesia yang baik, kalau tidak mengerti sekaligus mengenal multikulturalisme.
*) Penulis Peminpin Redaksi mading Qalam Pesantren Luhur Al Husna Surabaya
Comments :
0 komentar to “Pesantren sebagai Pengukuh Multikultural Bangsa”
Posting Komentar