Minggu, 10 Mei 2009
Mempertegas Identitas ASWAJA
Judul buku : Hujjah NU Aqidah-Amaliah-Tradisi
Penulis : KH. Muhyiddin Abdusshomad
Tebal Buku : xii + 121 hlm
Penerbit : Khalista
Tahun Terbit : Juni 2008
Peresensi : Rangga *
Nahdlatul Ulama (NU) adalah jamiyah yang di dirikan oleh para Kiyai Pengasuh Pesantren. Tujuan di dirikannya NU ini diantaranya adalah: a) memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah yang menganut pada madzhab empat: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, b) mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya, dan c) melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.
Islam Ahlu Sunnah wal al-Jamaah adalah ajaran sebagaimana diungkapkan oleh Rosulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, yakni “maana ‘alahi wa ash habi (apa yang aku berada diatasnya bersama sahabatku)”
Dewasa ini Ahlu Sunnah wal al-Jamaah (singkat saja menjadi ASWAJA) menjadi perebuatan-perebuatan lapangan legitimasinya. Bahkan ada yang saling mengkafirkan antar golongan satu dengan golongan yang lainnya, lebih parahnya lagi mereka yang menggunakan “stempel” ASWAJA mencari simpatisan guna kepentingan “contreng” sungguh hal yang memalukan. Layaknya ASWAJA ini mempunyai lapangan sendiri (dalam bidang aqidah dan tauhid) bukannya dibuat background dalam kampanye.
Ya, memang legitimation abuse (pergeseran legitimasi) dari ASWAJA ini patutnya jangan di jadikan percontohan terutama kita warga Nahdliyin yang tidak tahu apa-apa dan selalu dimanfaatkan oleh mereka.
Sebenarnya, nawaitu dari penulis sendiri adalah semata-mata untuk memantaplan kesalihan akidah, amaliah dan tradisi kaum Nahdliyin. Karena itu, berbagai persoalan yang diangkat dalam buku ini merujuk pada sumber-sumber primer ajaran Islam.
Juga dalam buku ini terjawab pertanyaan-pertannyaan dan seluk-beluk “pakem” yang sering di lakukan oleh warga Nahdliyin seperti tahlilan, ziarahkubur, tawasul dan lain-lain.
Memang untuk dewasa ini kaum Nahdliyin sering diserang oleh mereka yang tidak senang dan mereka yang tidak faham mengenai seluk beluk dari “pakem” yang dilakukan oleh Nahdliyin. Terutama yang patut disesalkan adalah serangan yang dilakukan oleh Makhrus Ali dalam bukunya Mantan Kiai NU menggugat sholawat dan dzikir syirik (seperti ariyah, al-fath, munjiyat, thibulqulub) yang begitu menyakitkan warga nahdliyin dan sempat membuat orang-orang yang awam tentang NU semakin menduga NU lah yang menyebarkan virus TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat).
Disinilah kepiawaian KH Muhyiddin Abdushomad untuk memberikan “hujjah” tersebut dalam bentuk buku. Karena cakupan bid’ah itu sangat luas sekali meliputi semua perbuatan yang tidak pernah ada pada masa nabi. Oleh karena penulis menerangkan dalam halaman 21 sebagian besar ulama’ membagi bid’ah menjadi lima macam; bid’ah wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Bid’ah muharomah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’. Bid’ah mandubah, yakni segala sesuatu yang baik tapi tak pernah dilakukan oleh Rosulullah saw. Bid’ah makrumah, menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan. Bid’ah mubahah, bid’ah yang contohnya seperti berjabat tangan setelah selesai sholat (hal 22) oleh karena itu, inilah hal yang mendasari urgenitas karakter ASWAJA dari Nahdliyin yakni al-Tawajun (moderat). Tidak seperti “wadah” lain yang selalu saling lempar kekafiran serta kesesatan satu sama lain layaknya “wadah yang beraliran fundamentalis”, disinilah juga perlu adanya sikap al-tassamuth (toleran).
Buku ini cocok untuk dijadikan pegangan bagi warga Nahdliyin yang masih awam terhadap ideology keagamaan mereka. Juga buku ini sangat cocok bagi mereka yang kontra terhadap pakem tradisi yang sering dilakukan oleh warga Nahdliyin. Dan sangatlah cocok buku ini bila dijadikan hujjah terhadap mereka yang selalu attack terhadap ideology warga Nahdliyin. Akhirnya semoga buku ini bermanfaat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ternyata Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kenduri kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
REFERENSI : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
CATATAN : Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19 Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.